Menyatukan Sains dan Pendidikan Islam. Bisakah?

0
3454

Dia yang mengkaji al-Qur’an agunglah bobotnya.

(Imam Asy-Syafi’i)

Adalah Ibnu Sina, ilmuwan muslim pada abad ke-11, yang gaung karya-karyanya senantiasa terdengar, dulu maupun sekarang. Barat mahsyur menyebut beliau dengan nama Avicenna. Dunia menggelarinya sebagai ‘Bapak Kedokteran Modern’. Bahkan George Sarton, sejarawan Belgia yang diakui sebagai ‘Father History of Sains’, menggambarkan Ibnu Sina dalam karya fenomenalnya ‘Introduction to the History of Scince’ sebagai ‘seorang tokoh terkemuka dalam perkembangan khazanah Islam yang namanya tetap bertahan selama seribu tahun sebagai salah satu pemikir dan ahli medis terbesar dalam sejarah’.

Bukan tanpa sebab Ibnu Sina mendapatkan semua puja-puji itu. Dalam usia 57 tahun, beliau telah berhasil menelurkan 450 buku yang membahas pelbagai disiplin ilmu. Kontribusi beliau terhadap perkembangan ilmu pengetahuan tersebar di banyak bidang seperti kedokteran, filsafat, farmasi, psikologi, kimia, biologi, astronomi, hingga geologi. Bahkan ‘Al Qonun fi At-Tibb dan Asy-Syifa, 2 masterpiece beliau di bidang kedokteran, dijadikan sebagai salah satu referensi utama di perguruan-perguruan tinggi Eropa hingga hari ini.

Namun yang perlu disadari ialah, jauh sebelum Ibnu Sina berfokus mendalami pengetahuan-pengetahuan sains semacam itu, beliau telah mempelajari terlebih dahulu ilmu-ilmu agama yang menjadi dasar dari kehidupan beliau. Dimana pada usia 10 tahun, beliau telah menyelesaikan hafalan Al Qur’an, menguasai tasawuf, dan paham dengan ilmu mantiq beserta dasar-dasar agama lainnya. Ini semua membentuk kepribadian yang mampu menyeimbangkan kedudukan antara ilmu agama dengan pengetahuan sains. Sehingga tak heran, bilamana kita sering mendapati dalam biografi beliau fragmen-fragmen yang menceritakan seorang Ibnu Sina ketika mendapati rintangan, masalah, maupun persoalan rumit, akan bersegera mengambil air wudhu, lalu kemudian pergi ke masjid, dan terus sholat hingga hidayah menyelesaikan kesulitan-kesulitannya.

Ibnu Sina hanyalah satu dari sekian cendekiawan muslim yang hidup di masa pemerintahan Dinasti Khilafah Abbasyiah. Masih ada begitu banyak ilmuwan muslim lainnya yang ikut serta dalam mengharumkan nama Islam lewat penelitiannya di bidang sains dan pengetahuan umum. Sebut saja misalnya Ar Razi di bidang kedokteran, Al Kindi dan Ibnu Farabi di dunia filsafat, Al Khawarizmi di bidang Matematika, Al Mas’ud di bidang sejarah dan geografi, hingga Ibrahim Al Fazari dan Al Farghani di dunia astronomi. Dan, sebagaimana Ibnu Sina, mereka juga mempelajari terlebih dahulu ilmu-ilmu agama sebelum melakukan pendalaman lebih lanjut di bidang-bidang tersebut. Itu yang membuat mereka menjadi pendar-pendar bintang yang turut menerangiperadaban Islam bahkan sesudah maut menjemput mereka.

Keberadaan para ilmuwan muslim di Dinasti Abbasyiah, tentunya juga diimbangi dengan kehadiran para ulama yang mumpuni di berbagai bidang keagamaan. Di dunia tafsir, ada Ibnu Jarir Ath-Thabari yang terkenal dengan kitab tafsirnya. Di bidang hadits, muncul 6 permata Islam yang keenam karya mereka jamak disebut sebagai Kutubus Sittah. Mereka adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud, Imam Tirmidzi, dan Imam Nasa’i. Dalam dunia tasawuf, dunia mengenal Imam Al-Ghazali sebagai salah satu penghulu ulama tasawuf ketika itu. Kemudian dalam ilmu fikih, lahir di masa Dinasti Abbasyiah keempat ‘Imam Madzhab’ yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Masing-masing meninggalkan masterpiece yang hingga kini senantiasa dijadikan rujukan umat dalam bidang fikih agama.

Demikianlah. Kolaborasi apik antara ilmu agama (kaum ulama) dengan pengetahuan umum (ilmuwan dan cendekiawan) mampu membawa Islam berjaya di puncak peradaban dunia pada saat itu. Di bawah pemerintahan Dinasti Abbasyiah, masyarakat Islam didesain untuk berada dalam kondisi keilmuan yang kondusif. Umat didorong untuk ber-mulazamah dengan alim ulama berikut para cendekiawan muslim. Pendidikan dasar keagamaan yang diberikan sedari kecil menyeting mindset kehidupan masyarakat sebagai seorang pembangun peradaban, bukan malah perusak bumi. Dengan berbekal ilmu agama, apapun profesi yang dilakoni, -entah itu ilmuwan atau pandai besi sekalipun- hanya akan bertujuan untuk menghasilkan kebaikan dan manfaat bagi orang lainnya. Sehingga dari sini akan tercipta perpaduan insan yang mampu menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi (khalifatul ardh). Manusia-manusia yang akan memakmurkan dunia, menyejahterakan penduduk bumi, dan menjaga keseimbangan alam dari berbagai kerusakan.

Akan tetapi kondisi yang terjadi pada hari ini ialah sebaliknya. Umat Islam sedang terpuruk di titik nadirnya. Kejayaan yang pernah bersemayam selama ribuan tahun, kini hanya menjadi nostalgia indah akan kenangan masa lampau. Sama sekali tak punya kuasa untuk menentukan laju arah dunia seperti sedia kala. Posisi umat Islam sebagai khalifah di muka bumi seakan dirampas begitu saja karena kealpaan dan ketertinggalan mereka dalam mempelajari teknologi. Padahal, tanpa sains dan teknologi, bakal ada banyak sekali potensi alam yang hanya akan menjadi bahan mentah dengan manfaat serba terbatas. Lantas, bagaimana bisa umat Islam mendapatkan kemakmuran dari alam sekitar bila mereka belum menguasai ilmu pengolahannya? Belum belajar bagaimana mengaktualisasikan manfaat alam tersebut menjadi sesuatu yang bersifat rahmat bagi semesta?

Pertanyaan besar bagi kita semua.

Wallahu a’lam bishowab

Ditulis oleh Chairul Sinaga, santri kelas 3 Aliyah, MATIQ Isy Karima

]]>