Pada suatu hari Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.
Putra beliau, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal pernah bertanya kepada ayahnya, ”Orang seperti apakah Imam AsSyafi’i itu sehingga aku sering mendengar engkau mendoakannya?”. Bapaknya menjawab, ”Wahai anakku, As-Syafi’i itu bagaikan matahari untuk dunia dan kesehatan untuk badan,apakah ada pengganti untuk keduanya ?
Siapakah gerangan As-Syafi’i yang disebut matahari oleh Imam Ahmad bin Hanbal tersebut? Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H, tahun dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah saw pada kakek beliau , Abdu Manaf.
Ada kisah yang menceritakan, ”Tatkala ibunda Imam Syafi’i mengandung beliau, ia bermimpi melihat bintang keluar dari kemaluannya dan hancur berkeping-keping di Mesir, lalu setiap negeri mendapat bagian kepingan bintang tersebut.” Mendengar penuturan tersebut, para penakwil mimpi menakwilkan bahwa akan lahir darinya seorang ulama yang ilmunya melingkupi segenap penduduk Mesir, kemudian akan tersebar keseluruh negeri.
Imam Syafi’i tumbuh dari keluarga fakir yang tidak memiliki rumah di Palestina. Bapaknya meninggal ketika beliau masih kecil. Ibunya membawa Syafi’i kecil pindah ke Makkah agar nasabnya yang mulia tidak terputus. Hidup dalam keadaan fakir dengan nasab yang tinggi menjadikan Imam Syafi’i sejak kecil berperilaku lurus dan cenderung pada perkara yang baik. Ditambah lagi, ibu beliau juga bersungguh-sungguh mendidik Imam Syafi’i kecil sehingga terlahirlah pemuda yang mencintai ilmu.
Beliau hafal Al Qur’an dalam usia tujuh tahun. Kemudian beliau menuntut ilmu hadist dan menekuninya, lalu menghafal kitab Muwattha’ Imam Malik. Tidaklah ia melihat ilmu dengan kedua matanya kecuali ia menghafalnya secara sempurna. Sehingga Imam Syafi’i menjadi salah satu imam madzhab yang empat, dan salah satu pembesar ulama Islam sepanjang sejarah.
Dalam fiqih beliau memiliki prinsip-prinsip yang berpegang teguh pada Al Qur’an dan Assunnah. Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku. Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku. Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”
Diantara perkataan beliau yang termasyhur adalah,
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.
Wallahu a’lam bishowab
Ditulis oleh Hikmah K, Mahasiswi STIQ Isy Karima
]]>