Konon, menghafal al-Quran itu laksana perjanjian besar, kontrak kita dengan Allah. Bahwa kita berjanji seumur hidup untuk menjaga al-Quran sampai ajal menjemput, untuk kemudian dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, demikian seorang kyai pernah berkata dalam tausiyahnya. Seorang ustadz juga pernah berujar bahwa al-Qur’an itu suci dan hanya mau melekat di hati orang yang berhati bersih nan menjaga dirinya dari kotornya dosa dan maksiat.
Namun entah mengapa banyak penghafal al-Qur’an yang merasa ‘menyesal’ telah menghafalkan berjuz-juz al-Qur’an karena merasa tidak mampu menjaga hafalannya. Perasaan bahagia akan pencapaian hafalan baru seringkali dibarengi dengan rasa gundah akan hafalan lama yang entah kemana. Dilema. Harus bahagia atau menyesalkah?
Barangkali tidak asing bagi kita hadits gharib yang menyebutkan bahwa melupakan hafalan al-Qur’an yang sudah dihafal adalah salah satu dosa besar. Namun juga sering mampir dalam ruang dengar kita bahwa hafalan al-Qur’an sangat cepat melesat dari dada penghafalnya bagaikan domba yang lepas dari kandangnya.
Barangkali penyesalan tersebut tidak sepenuhnya salah ataupun benar. Sampai disini tidak adil rasanya jika kita mengabaikan proses. Sesuatu yang niscaya pasti dialami setiap orang yang sedang mengejar impian dan cita-citanya. Proses jatuh-bangun, trial-error, sudah menjadi resiko bagi setiap pejuang yang sedang menapaki jalan perjuangan. Apalagi jika impian itu adalah menjadi seorang ahlul Quran. Keluarga Allah, dan orang terkhususNya.
Terkadang, cinta yang menggebu-gebulah yang mendorong seorang penghafal al-Qur’an untuk lebih giat menambah hafalan baru. Karena terkadang semangat itu menghangat saat ada hafalan baru yang melekat. Bukannya sengaja mengesampingkan muroja’ah. Tapi ini soal semangat yang harus terus menyala. Dalam hatinya berharap, kelak, semoga Allah memudahkannya menjaga hafalan.
Lain halnya jika seseorang sengaja meninggalkan hafalannya. Baik sedang dilanda kesibukan ataupun diberi rizki waktu senggang, al-Qur’an bukanlah prioritas. Senda gurau dan canda tawa menggantikan kesempatan yang seharusnya diisi dengan bermesraan dengan al-Qur’an.
Maka introspeksi dirilah yang kita lakukan, ketika satu-dua ayat mulai sulit kita lafalkan bil-ghoib. Atau wirid tilawah harian kita mulai tergantikan dengan aktivitas duniawi yang kurang bermanfaat. Barangkali hati kita sudah terkotori dengan kemaksiatan dan dosa-dosa. Wal ‘iyaadzu billah.
Maka semoga termasuk rahmat Allah, rasa takut kita terhadap hilangnya hafalan al-Qur’an membuat kita tak bisa lepas dari mentartilnya. Dibanding perasaan jemawa yang membuat kita merasa hafal, lantas menjauhkan kita dari mengulang-ulang hafalan.
Karena menghafal kitabullah adalah proses yang panjang. Ia adalah perjuangan yang menuntut pengorbanan. Juga cinta yang menuntut pembuktian.
Bukan disebut perjuangan jika memang mudah. Dan bukan cinta jika hanya di bibir saja. Apalagi ini bukan ‘cinta biasa’. Ini adalah cinta antara manusia dan kalam Penciptanya. Jika demi impian duniawi saja kita sanggup berjuang mati-matian, maka apa yang hendak kita berikan untuk cinta kita pada Al-Qur’an?
Maka, selamat berjuang. Selamat membuktikan cinta.
Semoga mahkota itu milik kita.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Umi Citrayani, Mahasiswi STIQ Isy Karima
]]>