“Saya ragu akan keberadaanku di dunia ini, tapi cinta telah menunjukan akan keberadaanku” (Alamah Iqbal salah seorang filosof asal Pakistan)
Kata cinta memang tidak asing di telinga kita, apa itu cinta? apakah anda pernah jatuh cinta? bagaimanakah rasanya jatuh cinta? Seperti apa bentuknya? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, karena jawaban setiap orang relatif sama!
Cinta, satu kata yang sering sekali diuraikan dalam berbagai bentuk literatur, baik itu sya’ir, lagu, novel atau status-status facebook, maupun gombalan-gombalan seseorang kepada kekasihnya. Maka sudah wajar kalau ulama sekelas Ibnu Qoyyim Al Jauzi menulis kitab khusus yang berbicara masalah cinta, “Roudhotul Muhibbiin”, sedangkan Ibnu Hazm seorang ulama terkemuka asal Andalusia juga menulis kitab“Tauqul Hamamah”, namun banyak kalangan yang masih belum tahu definisi pasti kata cinta, maka tak heran kalau ada ungkapan “Hanya cinta yang bisa memahami cinta”.
Seorang mukmin yang benar-benar berpegang teguh pada agama serta prinsip-prinsip dakwah dan jihad, ia juga tak luput dengan yang namanya virus merah jambu ini, adalah fitroh sebagai makhluk yang dinamakan insan. Tapi, kita juga dituntut untuk cerdas dalam mengelola dan menempatkannya supaya tidak terjerumus dalam hal-hal nista yang dilarang oleh Islam.
Islam, sebagai The way of life dengan Al Qur’an sebagai petunjuk telah mendiskripsikan secara tegas dan gamblang bagaimana sikap seorang manusia dalam bercinta, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa, bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan Allah amat berat siksaan-Nya” ini tertuang dalam surat Al Baqoroh ayat 165.
Dengan ayat di atas, jelas sudah bahwa manusia tergolong menjadi dua kelompok, yang pertama mereka yang cinta mati terhadap sesembahan-sesembahannya, dan yang kedua kaum mukmin yang “asyaddu hubban lillah”. Mari kita melihat diri kita dalam cermin intropeksi diri, termasuk kelompok manakah kita? apakah kita benar-benar mencintai Allah melebihi segala yang ada di dunia ini?, atau justru kebalikannya? Istafti qolbak!.
Walaupun demikian, sebagian kita mungkin kesulitan dalam meng-implementasikan ayat di atas dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak jarang, banyak di antara kaum muslimin yang salah dalam bercinta. Untuk itu mari kita bersama-sama meneladani salah seorang tokoh pecinta haqiqi.
Ialah Ibrohim aliahissalam, salah seorang Ulul Azzmi serta salah satu tokoh pecinta haqiqi dalam panggung sejarah peradaban manusia, tak pelak bila Allah subhanahu wa ta’alaa menobatkanya sebagai “kholilurrohman” kekasih Allah. Sudah menjadi ma’lum bersama, kita sebagai umat Muhammad sholallahu alaihi wa salamdiperintahkan uktuk meneladaninya. “sungguh telah ada dalam diri Ibrohim dan orang-orang beriman yang bersamanya suri tauladan yang baik” ( Al Mumtahanah : 3).
Lalu, apa yang menjadikan beliau mempunyai kekasih yang menciptakan jagat raya ini? Sebagai mana tersurat dalam An Nisa 125 “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kekasihNya”. Dalam kasus ini ada sebuah pepatah yang mengatakan “Tiada cinta tanpa pengorbanan”. Tidak diragukan lagi, ketika kita membaca siroh perjalanan beliau yang tergambar jelas dalam lembaran-lembaran Mushaf Qur’an maka kita akan mendapati perjuangan beliau dalam bercinta dengan sang Al Kholiq ini tidaklah mudah, perjuangan yang menuntut pada pengorbanan serta duka nestapa cobaan dunia.
Setidaknya ada 4 sebab yang ingin penulis sampaikan dalam makalah singkat ini:
- Pejuang Tauhid
Kurang lebih 2000 tahun sebelum masehi, Ibrohim ‘aliaihissalam hidup dan mengemban amanah dakwah Tauhid, waktu itu. Awan hitam kesyirikan telah meraja rela, yang haq dianggap batil, yang batil dianggap haq, yang kuat menganiaya yang lemah, si miskin semakin tertindas. Dan yang paling mengenaskan, ada orang yang dengan lancang dan takabur mengaku sebagai Ilah, hal ini tergambar jelas dalam sebuah perdebatan sengit antara beliau dengan Namrut (Raja Babilonia) dalam surat Al Baqoroh 258.
Allah subhanahu wa ta’alaa juga menceritakan detik-detik perjuangan beliau ketika berdakwah : “Dan Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta . Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan. Dan jika kamu mendustakan, maka umat yang sebelum kamu juga telah mendustakan. Dan kewajiban rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan dengan seterang-terangnya.” ( Al Ankabut: 16-18)
Benar-benar syaitan telah membelenggu akal, pikiran serta nafsu kaumnya, dakwah beliau pun bertepuk sebelah tangan. “Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: “Bunuhlah atau bakarlah dia”, lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman” (Al Ankabut: 24). Sungguh berat mengapai cinta Ar-Rohman, penuh dengan konsekuensi dan resiko yang harus ditanggung, pengusiran, penjara, bahkan nyawa pun sewaktu-waktu bisa melayang. Dan sungguh luar biasa ketabahan dan keteguhan Ibrohim alaihissalambeliau rela dibakar hidup-hidup demi kekasihnya. Tapi, skenario Allah sungguh mempesona, orang kufar berbuat makar, Allah pun berbuat makar dan Allah sebaik-baik pembuat makar – Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan jadilah keselamatanlah bagi Ibrahim” ( Al Anbiya : 69)
- Rela meninggalkan kampung halaman
Adalah fitroh manusia untuk cinta dengan tanah kelahirannya, disebutkan bahwa Rosulullah sholallau ‘alaihi wa salam meneteskan air mata ketika beliau meninggalkan mekah untuk hijrah ke Madinah. Setelah didustakan kaumnya dan Allah menyelamatkan dari kobaran api, tidak ada yang bisa dilakukan oleh Ibrohimalaihissalam kecuali hijrah dari negri kelahirannya, Babilonia. Hal ini diabadikan dalam surat Al An-kabut:26 dan dalam redaksi yang lain surat As-Shooffat ayat 99.
Ubay bin Ka’ab, Abu Aliah serta Qotadah mengatakan bahwa tempat hijrah beliau ialah Syam, yang sekarang terbelah menjadi empat Negara ( Jordan, Syiria, Palestina, Lebanon), sedangkan sumber Ahli kitab mengatakan bahwa beliaualaihissalam keluar berhijrah dari negri Babilonia bersama keponakannya Lut‘alaihissalam dan saudaranya Naakhur, istrinya, Sarah, serta istri saudaranya Malkaa dan menetap di daerah Khiron.
- Karena titah-Nya, istri dan anak ia tinggalkan di tengah gurun pasir.
Seolah-olah cobaan tak pernah surut apalagi berhenti, setelah pengusiran dari kaumnya dan penantian panjang putra pertama, Isma’il ‘alaihissalam yang lahir ketika beliau di usia senja, 86 tahun, Allah memerintahkan untuk membawa istri kedua Hajar dan putranya pergi dari Syam ke daerah pegunungan Faaran yang sekarang dikenal dengan Mekah.
Imam Abu Fida’ Isma’il bin Katsir Ad Damsiqi mengatakan “setelah sampai di lembah tandus maka Ibrohim pergi meninggalkan Hajar dan Isma’il untuk kembali ke Syam maka Hajar bertanya ”Wahai Ibrohim mau pergi kemana? apakah kau mau meninggalkan kami di lembah yang tidak ada apapun dan seorang pun ?! Hajar terus menerus mengikuti dan bertanya terus menerus, tapi Ibrohim tidak menoleh sedikit pun apa lagi menjawab. Kemudian Hajar bertanya lagi “apakah Allah yang memerintahkannya ? Beliau pun menjawab “Ya” maka Hajar pun tenang dan berkata “kalau demikian Allah tidak akan menyia-nyiakan kita”.
Subhanallah, betapa besar keyakinan dan tawakalnya Ummu Isma’il, ketika dikatakan bahwa Allah yang memerintahkan untuk meninggalkannya dan anaknya yang masih bayi di lembah yang tidak ada tanda-tanda kehidupan baik itu air, pepohonan apa lagi manusia. “Allah tidak akan menyia-nyiakan kita”, adakah wanita yang memiliki keyakinan seperti ini pada zaman kita?
Dengan hati sedih lagi terenyuh beliau meninggalkan Hajar dan Isma’il di Mekah dengan hanya meninggalkan sekantung kurma dan air, pada dasarnya tidak ada seorang suami pun yang akan tega meninggalkan istrinya di tanah tandus lagi tiada tanda-tanda kehidupan apa lagi ia membawa buah hatinya yang masih bayi. Tapi, apa boleh buat. ini adalah titah Robbnya sekaligus kekasihnya maka tiada pilihan lain selain menjalankannya.
- Buah hati pun ia korbankan.
Untuk kesekian kalinya Ibrohim ‘alaihissalam diuji oleh sang kekasih, ketika Isma’il ‘alaihissalam menginjak dewasa beliau beberapa kali bermimpi diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’alaa untuk menyembelih buah hatinya sebagaimana terabadikan dalam surat As Shooffat ayat 102 “Maka tatkala anak itu sampai berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Sungguh berat rasanya, setelah sekian lama menantikan buah hati justru setelah lahir ke dunia ia harus berpisah dengan membawanya ke gurun pasir yang gersang, Mekah. Dan ketika beranjak dewasa Allah memerintahkan untuk mengorbankannya. Disinilah kecintaan, kesetiaan, keimanan, kesabaran, ketabahan diuji oleh Allahsubhanahu wa ta’alaa.
“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Itulah jawaban Isma’il ‘alaihissalam salah satu teladan bagi anak sholeh yang taat pada orang tuanya. Tanpa ragu Ibrohim pun melaksanakan apa yang dititahkan kepadanya. Sungguh Allah benar-benar mengetahui kesungguhan hambanya, maka ketika beliau hendak menyembelihnya, terjadilah skenario Allah bagi para Muhsinin.
Para pembaca yang budiman, itulah sekilas mengenai kisah percintaan Ibrohim ‘alaihissalam, bapak para Nabi dan Rosul. Semoga kita bisa meneladaninya untuk bisa lebih mencintai Allah dari siapa pun dan apa pun di dunia ini!
Wallahu a’lam bishowab
]]>