Haafizh? Kata tersebut sudah tidak terlalu asing dimasyarakat sekarang. Haafizh adalah ism fa’il dari kata hifzh yang artinya “penghafal al quran”, atau “hamalatul quran”. Dahulu, kata hafizh hanya disandang oleh para penghafal hadits. Orang yang mempunyai hafalan hadits diatas rata-rata (ribuan mungkin) dan paham dengan seluk beluk periwayatan, mereka disebut Haafizh.
Tidak sedikit sekarang haafizh di Indonesia. Malah, bisa disebut ‘tren’ menghafal al-Qur’an. Menghafal al-Qur’an beberapa hari, dan jika lulus sudah mendapat gelar haafizh. Pondok pesantren (Ma’had) dengan program menghafal al-Qur’an kini menjamur di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Program Menghafal al-Qur’an pun kini menjadi pilihan utama para orang tua mendaftarkan putra-putri mereka ke pondok pesantren.
Semakin banyak orang mengetahui keutamaan menghafal al-Qur’an. Karena itulah semakin banyak pula orang yang berlomba-lomba dalam menghafal Kalamullah. Beberapa keutamaannya adalah; al-Qur’an memberi syafaat bagi para pembaca/ penghafalnya, al-Qur’an merupakan obat bagi para pembacanya, orang tua para penghafal ini akan mendapat kemuliaan di akhirat kelak, dan yang terpenting adalah menjadi bagian dari keluarga Allah dan orang-orang terkhususnya.
Namun kita sedikit kecewa ketika mengetahui ada seorang (atau malah banyak?) haafizh yang melakukan ‘pelanggaran’ syari’atNya. Bila yang melakukan maksiat tadi bukan seorang haafizh dianggap hal yang wajar. Ada haafizh yang mencuri, berdusta, dan lain sebagainya. Ada seorang ustadz yang menyampaikan di sebuah kajian remaja yang menceritakan ada sepasang penghafal al-Qur’an (haafizh dan haafizhah) yang pacaran. Bahkan lebih dari itu. Na’udzubillaah..
Okelah, mereka bukan para malaikat. Yang dengan perintah Allah selalu patuh dan taat. Mereka juga bukan manusia sempurna, yang terbebas dari dosa dan maksiat. Mereka hanyalah manusia biasa. Mereka juga sama seperti kita, tempat salah dan khilaf. Mereka manusia biasa, yang berusaha menggapai ridha Allah dengan cara yang mereka mampu yaitu menghafalkan KalamNya.
Tapi setidaknya, mereka lebih mengetahui hukum-hukum yang telah mereka baca dan hafalkan di dalam al-Qur’an. Mereka seharusnya mempunyai perasaan ‘membawa beban’ sebelum melakukan apa yang dilarangNya. Mereka adalah keluarga Allah. Mereka orang terkhusus yang dipilih Allah untuk menjaga kalamNya. Masa iya, orang pilihan mencuri? Masa iya, orang pilihan pacaran? Pantaskah?
Sebenarnya, bukan hanya para penghafal al-Qur’an saja yang berpikir dahulu sebelum bermaksiat. Setiap orang beriman seharusnya merasa selalu diawasi oleh Dzat Yang Tidak Pernah Tidur. Semua manusia seharusnya merasa bahwa Allah tidak pernah lalai terhadap hambaNya. Jadi bukan hanya haafizh saja yang mendapatkan stempel buruk jika melakukan ‘pelanggaran’. Entah itu haafizh atau bukan, Allah memperlakukan hambaNya sama. Adil seadil-adilnya.
Memang manusia itu tempat salah dan lupa. Manusia itu selalu berbuat kesalahan. Tapi sebaik-baik orang adalah yang melakukan kesalahan kemudian menyesal dan bertaubat.
Wallahua’lam Bishshawab.
Ditulis oleh Rodhiyatan Mardhiyah, Mahasantriwati STIQ Isy Karima
]]>