Ilmu itu bukan semata pengetahuan tentang berbagai tempat, waktu, dan tokoh. Hafal ratusan ayat, hadits, bait syair, matan, dan ibarat penting lainnya. Sebagian mengira, jika seseorang berhasil mengetahui permasalahan politik, ekonomi, atau sejarah secara terperinci maka ia layak disematkan gelar alim (ahli) dengan ilmu bermanfaat dan diberkahi.
Sebagian menilai bahwa ilmu itu tandanya banyak berbicara, jago berdiplomasi, lihai mengungguli lawan debat, dan retorika yang mumpuni. Jika seorang ingin terpandang di mata amanusia, maka harus memiliki keahlian di atas.
Standar ilmu yang berkah dan bermanfaat tidak seperti demikian. Bisa jadi orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya pun mampu menguasai hal-hal di atas. Orang-orang atheis pun tidak sedikit berasal dari kaum cerdik pandai. Namun sayang sekali hatinya tidak terketuk hidayah Ilahi.
Ilmu yang bermanfaat dan diberkahi adalah ilmu yang mengantarkan pemiliknya menuju kemanfaatan di dunia dan akhirat. Bukan di dunia saja. Sebab, dunia hanya terminal kehidupan. Seorang mukmin dengan ilmunya harus memberi kemanfaatan kepada dirinya atau nafi’un linafsihi dan mengusahakan dirinya bermanfaat bagi orang lain atau nafi’un lighairihi. Dalam hadits disebut bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Kemanfaatan ilmu dan keberkahannya bisa diukur sendiri oleh pengemban ilmu itu. Semakin bertambahnya ilmu seseorang, takutnya ia kepada Allah semakin besar. Allah berfirman : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya adalah ahli ilmu” (QS. Fatir: 28). Imam Masruq berkata: “Cukuplah seseorang itu berilmu dengan takut kepada Allah, cukuplah seseorang dicap jahil dengan membanggakan ilmunya sendiri.”
Keluasan ilmu yang dimiliki seyogyanya mengantarkannya menuju kedekatan kepada Allah dan menjaga jarak dengan dunia. Dunia bagi seorang alim yang rabbani bukan tujuan utama. Dunia hanya sawah ladang. Di akhiratlah tempat menuai. Imam Sufyan At-Sauri berkata: “Tidaklah seorang bertambah ilmunya lantas bertambah cintanya pada dunia, melainkan dia bertambah jauh dari Allah.”
Merasa diri banyak ilmu semakin berani kepada Allah. Pandai mempermainkan ajaran Allah. Pandai bersilat lidah mencari pembenaran terhadap pendapatnya yang keliru. Selalu mencari celah agar bisa berkelit dari tuntutan keimanan. Sikap seperti ini merupakan ciri-ciri ilmu yang tidak berkah. Dunia akhirat pun tidak bermanfaat.
Penyakit ahli ilmu adalah ketika pengetahuan yang dimilikinya sebatas teori saja. Ilmunya hanya wacana, opini, atau tulisan di atas kertas. Ia sendiri tidak mengamalkan ilmunya. Ia pun tidak berusaha memperjuangkan apa yang diyakininya sebagai ilmu. Abu Darda’ ra berkata: “Seorang tidak disebut alim sampai dia mengamalkan ilmunya.”
Amal itu adalah buah dari ilmu. Ilmu yang bermanfaat dan barokah adalah tatkala manusia menilai pengemban ilmu itu menyesuaikan diri dengan pengetahuan yang dimilikinya. Ada cahaya di wajahnya. Ada takut pada Allah di hatinya. Konsisten tutur kata dan perbuatannya. Dia jujur pada dirinya, pada orang lain, dan kepada Allah.
Ilmu bermanfaat dan barokah yang dimiliki seseorang tidak membuatnya takabbur. Pakaian ahli ilmu adalah ketawadhuan. Itulah kemuliaan hakiki di mata Allah dan manusia. Fudhail bin Iyadh berkata: “Allah mencintai ahli ilmu yang tawadhu’, sangat membenci ahli ilmu yang congkak. Barangsiapa yang tawadhu karena Allah, Allah akan mewariskan hikmah kepadanya.”
Penyakit kronis kaum cerdik pandai dari dahulu hingga hari ini adalah congkak. Merasa pintar sendiri. Bangga dengan ilmu yang dikuasai. Orang lain dianggap bodoh atau tidak selevel intelektualitasnya dengan dirinya. Sehingga ia bebas memberi komentar miring atau menilai siapapun semaunya. Padahal tidak pantas bagi ahli ilmu merendahkan orang lain karena ilmunya yang sedikit.
Ilmu yang disertai kesombongan hanya melunturkan respek orang lain. Meski di depan mata terkesan hormat, tetapi di belakang sungguh dia tidak disukai. Antusias dan penghargaan tulus dari orang lain didapat hanya melalui tutur kata santun dan perangai yang simpatik. Maka otomatis ilmunya akan bermanfaat bagi orang banyak dan keberkahannya bisa mengalir deras kepada mereka.
Ilmu yang berkah lagi bermanfaat menuntun pemiliknya menuju kebahagiaan dan kemuliaan sejati, yaitu keridaan Allah. Ilmu itu menghalanginya dari kehinaan, menjaganya dari kesesatan, membentenginya dari hawa nafsu, dan memeliharanya dari perkara keji dan mungkar. Semoga Allah yang Maha Alim menganugrahkan kita ilmu yang berkah dan bermanfaat.
Ditulis oleh Habib Ziadi, Aumni Ma’had ‘Aly Isy Karima 2006, Pengasuh PONPES Darul Muhibbin NW Mispalah, Praya, Lombok Tengah, NTB
]]>