INGGRIS, Kamis (Electronic Intifada): Lebih dari 340 akademisi senior berbagai universitas di Inggris memboikot universitas-universitas ‘Israel’. Mereka berikrar untuk tidak bekerja sama dengan institusi pendidikan ‘Israel’. Hal itu terkait dengan pelanggaran HAM yang dilakukan penjajah Zionis terhadap rakyat Palestina.
Pernyataan para akademisi Inggris bertajuk “Komitmen Akademisi Inggris terhadap Hak Warga Palestina” itu diiklankan satu halaman penuh di surat kabar The Guardian Selasa (27/10) lalu. “Kami sangat terganggu atas penjajahan ‘Israel’ terhadap tanah Palestina serta pelanggaran hak asasi manusia yang tidak bisa ditoleransi sehingga berdampak terhadap seluruh rakyat Palestina.” Begitu bunyi salah satu kalimat dalam iklan tersebut.
Karena itulah, para akademisi Inggris menyatakan tidak akan memenuhi undangan kunjungan ke lembaga pendidikan ‘Israel’, bertindak sebagai penilai, berpartisipasi dalam konferensi yang didanai atau diselengarakan oleh mereka, atau kerja sama dengan cara apapun. Namun, mereka menyatakan akan tetap bekerja di universitas ‘Israel’ atas nama pribadi. Mereka menyatakan akan tetap mempertahankan boikot hingga ‘Israel’ mematuhi hukum internasional, dan menghargai prinsip-prinsip universal HAM.
Dalam daftar akademisi yang melakukan boikot, terdapat beberapa nama besar yang terkait dengan Palestina atau kajian Timur Tengah, seperti Profesor Laleh Khalili, Nur Masalha dan Myriam Salama-Carr, serta Doktor Dina Matar, Anna Ball, Anthony Gorman dan Adam Hanieh.
Para penandatangan lainnya termasuk mereka yang lingkup akademiknya tak terkait dengan Palestina dan kawasan sekitarnya, namun tetap merasa terdorong untuk mendukung Palestina. Mereka adalah ahli teologi Timothy Gorringe, kritikus seni Julian Stallabrass, ahli fisika Sir Tom Kibble dan psikolog Erica Burman. Sejumlah akademisi Yahudi ‘Israel’ juga nampak dalam daftar tersebut, termasuk ahli matematika dan ahli filsafat Moshe Machover, ahli bahasa Hagit Borer dan arsitek Eyal Weizman.
Para akademisi menyatakan bahwa mereka: “termotivasi oleh keprihatinan mendalam terhadap warga Palestina, termasuk para akademisi Palestina, yang berjuang untuk mempertahankan persamaan hidup dalam kondisi penjajahan yang sangat sulit, dan pengingkaran atas hak-hak asasi manusia. Sejumlah peristiwa yang terjadi belakangan ini sekali lagi menunjukkan bukti kuat atas tak kenal komprominya ‘Israel’.”
Ikrar itu juga secara eksplisit bertautan dengan Seruan Masyarakat Sipil Palestina 2005 untuk melakukan aksi boikot, divestasi dan sanksi. Yakni, sejumlah besar partai politik Palestina, serikat buruh, asosiasi, koalisi dan organisasi meminta para tenaga ahli internasional dari berbagai bidang menolak bekerja sama dengan institusi-institusi ‘Israel’.
Pernyataan itu menegaskan bahwa, “Sejumlah besar akademisi di negara-negara lain telah menandatangani komitmen serupa. Kami percaya bahwa banyak orang yang bekerja di seluruh sektor universitas di Inggris akan melakukan hal serupa pula.”
Tanggung Jawab Bersama
Iklan tersebut juga memuat testimoni dari sejumlah akademisi yang menandatangani ikrar, termasuk Dr. Rachel Cohen dari City University London, yang mengatakan bahwa ia merasa: “Ini merupakan tanggung jawab kita semua yang merasakan kebebasan untuk mendukung kolega kita di universitas-universitas Palestina yang tak memiliki kebebasan semacam itu. ‘Israel’ menampilkan dirinya sebagai pencerah bagi mereka yang mengejar akademik, namun secara sistematis menolak kebebasan dasar para akademisi dan pelajar Palestina, seperti kebebasan gerak yang diperlukan untuk menghadiri konferensi akademis internasional, atau sekadar mengikuti kuliah tepat waktu.
Sementara itu, seorang ahli kimia di Universitas Southampton, Profesor Malcolm Levitt FRS menguraikan:
“Selama beberapa dekade ‘Israel’ menikmati perlindungan khusus dan hak istimewa sekalipun melakukan penjajahan dan kebijakan permukiman ilegal. Menghadapi kebisuan dan keterlibatan wakil terpilih kita, individu-individu harus berusaha menekan sebisa mungkin. Komitmen ini memungkinkan saya, sebagai seorang akademisi, untuk bekerja sama dengan individu-individu ‘Israel’ dalam tradisi ilmiah terbaik, sambil masih menentang upaya institusi-institusi ‘Israel’ untuk menormalkan keterlibatan mereka dalam aktivitas kotor ilegal dan tidak adil.”
Sejumlah organisasi seperti Kampanye Palestina untuk Boikot Akademis dan Budaya ‘Israel’, serta Ahli Antropologi untuk Boikot Institusi Akademik ‘Israel’ telah mendukung gelombang gerakan boikot dan pernyataan. Yakni, dengan memberikan informasi tentang bagaimana para akademisi bisa melakukan boikot terhadap institusi-institusi ‘Israel’, serta implikasi hukum dan profesi jika melakukannya.* (Electronic Intifada | Sahabat Al-Aqsha)
]]>